Hai, Selamat Bertermu Lagi!


Hai, selamat bertemu lagi !
Tok..tok...tok.. Terdengar suara pintu kamarku diketuk dari luar.
“Ada tamu tuh, Key” kata mama dari balik pintu
Aduh siapa sih tamunya kok pagi-pagi udah namu aja. Nggak tau apa kalo hari Sabtu itu hari bermalas-malasan buatku. Aku menutupi muka dengan bantal dan berharap suara mama hanya angin lewat. Aku menarik selimut dan mencoba berkelana ke alam mimpi lagi.
“Key cepetan, tamunya udah nunggu daritadi tuh” suruh Mama yang udah ada di depan pintu.
“Siapa sih tamunya kok gak punya sopan santun. Ganggu tidurku aja” jawabku malas-malasan dengan kelopak mata yang masih enggan dibuka
“Udah temuin aja” kulihat mama senyum-senyum kegirangan
Dengan berat hati aku beranjak dari tempat tidur dan mencuci muka. Kulihat ternyata tamunya hanya sepasang suami istri yang tidak aku kenal. Tapi kenapa mama senyum-senyum kegirangan ya tadi. Jangan-jangan ada sesuatu yang disembunyiin. Pasti mama mau malu-maluin aku di depan tamu ini. Sebel.
“Wah sudah gede ya sekarang, tambah cantik aja” komentar Om itu setelah melihatku keluar.
Langsung saja aku menyalami mereka. Aku hanya tersenyum mendengar komentar darinya. Mungkin dulu aku kenal Om ini.
Om itu celingukan mencari-cari seseorang “Dimas dimana, kok belum kesini?” tanyanya pada istrinya.
“Tadi balik lagi ke mobil, ada yang ketinggalan katanya” sahut istrinya.
Mama menyuruhku ganti baju.  Aku melihat diriku sendiri dan tersadar sekarang aku masih memakai piyama keropi kesayanganku. Wajar saja mama menyuruhku ganti. Langsung saja aku masuk, mandi bebek dan ganti baju biar apa yang dikatakan Om itu bener. Dan tunggu! apa hubungannya Om, Tante, Dimas dengan aku?
“Key, cepetan dong keluar. Udah ada Dimas ini” teriak mama dari ruang tamu.
Aku sudah mengenakan dress putih bermotif bunga-bunga favoritku. Tak lupa aku menyapukan sedikit bedak dan lipglos agar mukaku terlihat segar. Aku berlari ke ruang tamu. Deg. Aku mematung. Darahku seakan-akan berhenti mengalir dan jantungku berhenti berdetak seketika. Aku tidak mengenal sosok laki-laki di depanku ini. Sepertinya dia seumuran denganku. Pasti ini yang namanya Dimas. Ya Tuhan! Ganteng banget! Aku tidak berkedip begitupun dia. Sampai aku tersadar dan balik pada dunia yang fana ini.
“Dimas siapa ya?” sambil cengengesan aku bersalaman dengannya
 “Lha ini Keyla siapa? Aku kok nggak kenal.” Balasnya dengan muka yang polos.
“Kalau nggak kenal ngapain kesini, Mas?” tanyaku lagi. Menurutku orang yang bernama Dimas ini otaknya agak-agak geser kali. Udah tau nggak kenal ngapain juga datang ke rumah. Udah gitu dia seakan-akan jadi tamu spesial pula.
Dimaspun hanya tertawa karena jawabanku yang itu. “Aku Dimas” dia memperkenalkan dirinya secara singkat dan tersenyum. Senyumnya itu lho manis banget ditambah ada dua lesung pipi diwajahnya tambah aduhai pokoknya. Apa sih otakku tambah ngaco. Aku menggeleng-gelengkan kepala biar pikiran seperti itu hilang dari otakku.
“Aku Keyla” jawabku sekenanya sambil tertawa. Semua orang yang mendengarnya juga tertawa. Jawaban apa sih itu tambah ngaco aja. Mungkin otak dan mulutku lagi gak sinkron karena tersihir oleh pesonanya si Dimas ini.
“Udah tau kalo itu” Dimas tertawa. Dia kalau tertawa matanya sipit seperti bulan sabit. Memamerkan giginya yang ginsul satu disebelah kanan.
“Kalian ini gimana? Masak pura-pura nggak kenal. Kalian itu teman dari kecil” jelas Om itu. Om Setyo namanya. Dan istrinya bernama Tante Kasih.
Aku dan Dimas saling berpandangan dan melempar senyum satu sama lain. Tidak menyangka kalau kami ini teman dari kecil.
“Pasti Keyla bingung ya? Ini Didi sayang, teman kecilmu dulu” terang tante Kasih kepadaku. Tante Kasih memang baik hati dan penuh kasih sayang seperti namanya.
Deg. Aku mematung. Didi. Nama yang tidak asing bagiku. Didi teman kecilku. Benarkah?. Benarkah dia Didi teman kecilku dulu?. Benarkah dia adalah orang yang selama ini aku tunggu-tunggu. Oh Tuhan, aku senang sekali hari ini bisa bertemu dengannya lagi. Setelah 12 tahun tidak ketemu dan kehilangan jejaknya. Sekarang dia berada di depanku. Ini nggak mimpi kan? Tolong cubit aku, tolong!
Mama menyubit tanganku. Aku terkesiap ternyata aku tidak bermimpi “Eh..  Didi toh, sekarang baru aku ingat. Hi, selamat bertemu lagi, Duke.” Aku nyengir gak jelas. Kalau Didi aku pasti mengingatnya. Gimana bisa lupa kalau dia terus yang mengisi otakku.
“Iya, aku Didi. Your Duke, Nona. Masih ingat?” sambil mengangkat alisnya yang tebal itu. Duke adalah panggilanku untuk Didi semasa kecil. Dulu tante Kasih selalu mendongengi kami tentang sang pangeran dan sang Putri. Pangeran itu bernama Duke dan sang Putri dipanggil Nona. Jadilah nama panggilan kami Duke dan Nona.
“Masihlah. Kalo kamu mah gak bakal aku lupain”
“Buktinya tadi aja lupa”
“Tadi kan nggak tau kalo nama kamu yang sebenarnya Dimas. Lagi pula aku sudah lupa wajahmu. Dulu kita bertemu kan pas umur 3 tahun. Masih kecil banget. Wajar saja kalau lupa. Tapi tenang aja kenangan manis kita takkan terhapus dari otakku kok” terangku dengan bangga. Semua orang disana tertawa termasuk Didi.
“Aku juga”
Hah sesingkat itukah. Padahal aku udah manjang-manjangin jawaban dan cuma dibales kaya gitu. Orang ini kepalanya perlu dipukul pake palu kali ya. Gak ada selera humornya. Kayaknya orang ini setelah pisah sama aku langsung mengurung diri dari dunia luar deh soalnya hidupnya itu lempeng-lempeng aja. Emang aku siapanya kok kayaknya berpengaruh gitu.
Disaat-saat orang tua kami berbincang. Didi sibuk memainkan ponselnya. Aku yang bosan sendiri mendengarkan mereka berbincang. Mau masuk ke ruang tv juga nggak enak sama tamu. Tapi nagapin juga aku disini. Gak ada yang bisa dilakukan.
“Duke” bisikku.
Didi mendongakkan kepalanya melihatku sekilas lalu kembali lagi melihat layar ponselnya.
“Duke” bisikku lagi sambil menarik-narik lengan bajunya. Didi mendongak. “Masuk yuk. Bosen disini ngobrolnya masalah orang tua.” Didi mengangguk lalu mengekoriku masuk ke ruang tv. Disini aku sudah merasa nyaman. Apalagi ada Didi sang pujaan.
Didi masih aja sibuk dengan ponselnya. Aku malah tambah merasa tidak nyaman. “Gitu aja terus, ini ada orang lho disamping” sindirku. Dia tidak merespon sama sekali malah tambah asik dengan ponselnya.
“Kalo niat ketemu temen kecil ya diajak ngomong dong, jangan sibuk sama ponsel terus.”
“Kenapa sih?” tanya Dimas judes
“Nggak papa pikir aja sendiri. Aku bosen pengen tidur. Kalo kamu gak mau disini balik lagi ke ruang tamu gak papa. Aku mau ke kamar soalnya” jelasku yang udah sebel dicuekin dari tadi.
“Kamu itu ya, udah aku kesini jauh-jauh sambutannya malah kaya gitu. Gak menghargai sama sekali” dia malah marah-marah ke aku.
“Gimana aku mau menghargai kalo kamu aja sibuk dengan ponsel terus. Ngobrol apa gitu kan bisa. Aku juga bosen kalo dicuekin terus.”
Gimana bisa menghargai kalo orang yang pengin dihargai kaya begini. Sibuk sama ponselnya terus. Hei! Disini ada orang lho. Bukan cuma angin. Ini adalah waktu kita. Masak 12 tahun gak ketemu Cuma diem-dieman doang. Cerita apa gitu kan bisa. Apa dia jaim ya? Alah dulu aja gak kenal aja jaim-jaiman.
“masih ingat dulu waktu kita kecil nggak” tanya Didi langsung
“masihlah. Mungkin kamu yang gak ingat” jawabku ketus.
Seketika pikiran ini melayang ke 12 tahun yang lalu. Saat aku dan Dimas bermain masak-masakan bersama, bermain boneka bersama, mandi bersama, yang bersama-sama yang lainnya. Dulu kami tidak terpisah selalu berdua kemana saja. Namun entah kapan dia pindah rumah aku tidak tahu dan tidak ada kabar sama sekali. Dia pergi tanpa pamitan. Mungkin udah pamitan tapi aku lupa.
“Weitss jangan sembarangan nuduh, Non. Aku inget semua kok” ujarnya membela diri
Wajahku terasa panas karena dia bilang begitu. Pasti mukaku udah merah semua karena mali. Diriku seakan-akan tidak mempunyai gaya gravitasi, melayang bebas. Ternyata dia ingat masa-masa kecil kita. Aku kira Cuma aku yang masih mengingatnya. Dan aku kira Cuma aku yang ingin kembali kesana lagi. Seandainya waktu bisa diputar dan kami bisa mengubahnya semua.
Dia mencolek tanganku “jangan bengong dong” katanya lagi
Aku tergagap kaget karena ulahnya “eh.. eh.. iya”
Kami lalu mengobrol asik berdua. Dia tidak mempedulikan ponselnya lagi. Sekarang aku yang dihadapannya, aku yang diprioritaskan. Kita bercerita tentang sekolah, teman, pelajaran, dan juga pacar.
“Kamu udah punya pacar?” aku sedikit memancingnya
“Belom, kamu  mau daftar jadi pacar aku?” dia mengangkat-angkat alisnya. “Eh, maaf-maaf. Ntar pacar kamu malah marah” katanya yang merasa bersalah.
Aku langsung salah tingkah. Aku mau-mau aja sih kalo daftar jadi pacarnya tapi pasti sainganku banyak. Dia menyangka kalo aku udah punya pacar. Ini anak sok taunya gede banget.
“Hahaha belom punya pacar. I’m still waiting for my Duke” aku mengerlingkan mata.
Didi kaget, nggak menyangka kalo aku akan mengatakan itu. Dia jadi salah tingkah. Mukanya merah semua. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal itu.
“Nona..”
Aku menoleh. Matanya yang serti elang itu menatapku intens. Aku terkunci oleh tatapannya. Beberapa saat kami terdiam sampai ada suara orang memanggil dari ruang tamu.
“Didi, ngobrol apaan sih kok serius banget” kata Mamaku dari ruang tamu
“Rahasia anak muda, Tante” dia setengah berteriak agar terdengar sampai ruang tamu.
“Ya udah diterusin aja ngobrolnya. Jangan lupa waktu. Ntar Papa tinggal disini lho” Om Setyo juga menyahuti
“Duke, ditinggal juga nggak apa-apa Om. Katanya dia ikhlas” giliran aku yang menjawab.
Kami semua tertawa. “Kesenengen Didi nanti. Bisa berduaan sama kamu terus” Tante Kasih ikut-ikutan menjawab.
Orang tua kami seneng banget kalo ngeganggu. Kayanya mereka mendukung kita deh. Udah dapet dukungan dari orang tua tapi kapan dia nembak ya. Duh otakku mulai ngaco lagi.
Setelah mengontrol emosinya Didi berkata “Kamu kan cantik, masak gak ada yang suka?”
Itu tanya apa ngejek sih “Aduh Duke, kamu itu gimana sih. Yang suka aku itu banyak bukannya sombong lho, tapi aku tolak semua itu demi kamu. Aku nunggu kamu. Aku nunggu kamu nepatin janji”
Dia tertawa “Iya Non, bukannya aku sombong lho yang suka aku itu banyak tapi aku abaikan semua demi kamu. Demi janjiku ke kamu” dia tersenyum penuh arti.
Apa aku bilang, pasti sainganku banyak. Secara dia ganteng banget gini. Semua cewek kalo lihat dia juga pada langsung jatuh cinta. Katanya dia mau nepatin janji. Aduh bikin perut mules aja.
Dia mencari-cari sesuatu disaku jaketnya. “Mana tanganmu” sifat cueknya keluar lagi.
Aku mengadahkan tangan padanya. Dia memberiku kalung berbandul bintang. Kalung itu seperti kalung yang dulu diberikan Pangeran Duke kepada Sang Putri di cerita dongeng. Mataku berbinar-binar melihat kalung itu. “Ini kalung yang seperti di cerita dongen dulu” aku speechless. Aku mencoba memakai kalung itu sendiri tapi tidak bisa. Lalu dia mengambil kalung itu dan memakaikannya.
“Thanks, Duke” aku lalu memeluknya. Dia membalas pelukanku.
Dia berbisik padaku “Maukan kamu jadi pacarku, Nona?”
Aku hanya mengangguk di dadanya yang bidang itu. Tubuhku bergetar. Cairan bening sukses meluncur dari mataku. Aku menangis dipelukannya. Aku menangis karena bahagia. Dia membelai rambutku agar aku lebih tenang. Dia membiarkanku untuk menangis sepuasnya sampai aku tenang.
“Maaf membuat bajumu basah” aku melihatnya dengan mata yang masih merah. Dia menghapus sisa-sisa air mata di pipiku.
“Dasar cengeng.” Dia menarik hidungku yang merah. “Aku gak mau punya pacar yang cengeng. Nanti kalo aku gak disini kamu nangis terus lagi. Aku kan jadi ga tenang.” Dia memelukku sekali lagi.
“Saya berjanji tidak akan cengeng lagi, Jendral” aku berkata sambil memberikan hormat ala-ala polisi. Dia mengacak-acak rambutku lagi dan tertawa melihatku yang jelek kaya gini.
Mama, Om Setyo, dan Tante Kasih masuk ke ruang tv. Tempat dimana aku dan Didi sekarang berada. “Kamu apain si Keyla kok dia sampe berantakan gitu” Tante Kasih yang kayanya prihatin dengan keadaanku sekarang.
“Ini Tante, tadi Duke ngacak-acak rambutku. Kan jadinya rusak” laporku sambill merapikan rambut lagi
“Terus dia nangis, Ma”
Kami berdua tidak sepenuhnya berbohong pada mereka. “Kalo dia macem-macem lapor saja pada Om. Biar Om hajar dia” kata Om Setyo sambil menunjuk Didi
“Siap, Om”
“Om sama Tante pulang dulu ya. Jaga diri baik-baik. Jangan nakal.” Om Setyo berpamitan
“Lhah aku gak diajak pulang nih?” Didi yang pura-pura cemberut
“Ya terserah, kamu mau pulang atau nggak.” Kata Om Setyo dengan entengnya
“Aku mau disini aja ah, aku gak mau pisah sama Nona cantik” Didi berkata dengan manja dan merangkulku.
“Ntar gimana sekolahmu, ayo pulang. Besok kalo liburan kamu boleh nginep disini.” Tante Kasih dengan tegas mengajak Didi pulang.
“Yah Mama..”
Aku mengantarkan mereka sampai ke depan rumah. Sebelum ke mobil Didi berpesan “Kamu jaga diri  baik-baik, jangan nakal, jangan genit sama cowok lain, jangan cengeng, kalo ada apa-apa telpon atau sms pokoknya harus cerita, setiap hari harus telepon/sms walaupun cuma say Hi, jangan ngilang tanpa kabar dan inget kamu udah punya aku.” Katanya dengan serius.
“Itu pesan apa contekan, Mas. Panjang bener” aku tertawa.
Dia cemberut “Harus inget pesan aku” katanya tegas
“Iyaa, kamu juga jaga diri baik-baik karena aku gak bisa jagain kamu, jangan nakal, belajar yang bener, kalo ada apa-apa telepon atau sms pokoknya harus cerita, setiap hari harus ngasih kabar, jangan genit sama cewek-cewek lain dan inget kamu udah punya aku.” Pesanku yang tak kalah panjang darinya. “Dan juga harus sering kesini. Pokoknya kalo liburan harus kesini.”
Didi dan orang tuanya berjalan menuju mobil. Saat sudah membuka pintu mobil tiba-tiba dia mematung dan berlari menghampiriku lagi. Aku bingung kenapa dia lari begitu. Sampai di depanku dia memelukku tanpa menunggu izin dariku. Katanya sih pelukan perpisahan. Anak ini penyakitnya lagi kumat kurasa.
Suara klakson mobil terdengar tiga kali. Om dan Tante udah nunggu dari tadi di mobil. Didi mencium pipiku lalu berlari masuk ke mobil. Aku mematung tak menyangka dia akan melakukan itu. Aku rasa dia gak punya sopan santun. Selalu aja membuat jantungku mau copot. Ya itulah dia. Aku cinta dia.
“Inget pesan aku. Inget udah ada seseorang yang bertahta di hatimu. Hati-hati di jalan. Kalo udah sampai rumah langsung telpon” aku berteriak. Dia hanya mengangkat dua jempolnya dari dalam mobil. Aku melanbaikan tangan tanda perpisahan.
Terasa suatu cairan mengenai tubuhku. Aku terperanjat bangun. Ternyata ada mama disampingku membawa gayung yang isinya sudah tumbah ke tubuhku.  Aku mengerjap-ngerjapkan mata.
“Duke mana Mah?”
“Di rumahnya lah. Makanya kalo tidur jangan kaya kebo.”
Mama hanya menggeleng. Ternyata aku Cuma bermimpi ketemu dengan Didi teman kecilku dulu. Walaupun hanya mimpi aku sudah senang kok. Semoga mimpi itu menjadi kenyataan. I’m still waiting for you, Duke.

0 komentar:

Posting Komentar